Negeri 5 Menara

*Oleh Siti Nurziadah, S.Pd.

Dalam buku ini Ahmad Fuadi menceritakan seorang anak laki-laki asal kampung Bayur, pinggir Danau Maninjau, Bukittinggi bernama Alif Fikri. Alif merupakan anak pintar, nilai ujiannya ketika madrasah tsanawiyah termasuk sepuluh tertinggi di Kabupaten Agam. Berbekal nilai tersebut Alif dan temannya yang bernama Randai akan mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Alif tak ingin melanjutkan sekolah di madrasah, ia merasa sudah cukup selama tiga tahun menuruti keinginan ibunya untuk bersekolah di madrasah. Alif ingin mendalami ilmu non agama tidak madrasah lagi, ingin kuliah di UI, ITB, dan terus ke Jerman seperti pak Habibie.

Namun impian itu runtuh menjadi abu karena Amak meminta agar Alif tidak masuk di SMA melainkan ke madrasal aliyah. “Amak ingin anak laki-laki ku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan yang pengetahuan luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran” kata Amak pelam-pelan. Ayahnya pun tidak berada dipihaknya, “Sudahlah, ikuti saja kata Amak, itu yang terbaik.” Kekesalan memenuhi benak Alif karena cita-citanya bertentangan dengan kemauan Amak yang tak tega melawan kehendak beliau.

Setelah membaca surat dari pak Etek Gindo paman alif yang berada di Kairo, Mesir, dengan penuh harap Alif memutuskan untuk merantau ke Pondok Madani, Jawa Timur. Perjuangan Alif untuk sampai di Jawa Timur diantar oleh ayahnya dan ditempuh menggunakan bis selama tiga hari. Hari pertama Alif di pondok, dia tersengat oleh kalimat yang dilontarkan oleh Ustad Salman “Man jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Sepotong kata asing itu bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Kata mutiara yang sederhana tapi kuat, inilah yang menjadi kompas kehidupannya kelak.

Ketika di pondok Alif berkenalan dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Mereka berenam sering berkumpul dan belajar bersama saat menjelang maghrib. Tempat yang sering digunakan mereka berkumpul adalah di bawah menara sehingga dijuluki sebagai Sahibul Menara, orang yang punya menara. Di bawah menara itulah mereka berenam membahas pelajaran menceritakan impian-impian, merencanakan amal kebaikan yang akan dilakukan ketika sudah dewasa nanti. Mereka memandangi awan dan menggambarkan benua yang ingin di kunjungi kelak setelah lulus nanti.

Kehidupan pondok pesantren berhasil mereka lalui meskipun itu tidak mudah. Beberapa tahun kemudian kelima sahibul menara itu bertemu di London, Inggris. Ketika bertemu mereka bercerita tentang kenangan-kenangan selama berada di pondok pesantren dan saling membuktikan cita-cita serta impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid menjelang maghrib kala itu. Mereka benar-benar diberikan kesempatan untuk mewujudkan impian yang terkesan mustahil itu yang mereka sendiri tak tahu kemana impian akan membawa mereka. Yang mereka tahu, “Jangan pernah meremehkan impian walau setinggi apapun, sungguh Tuhan Maha Mendengar”.

Novel negeri 5 menara ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya mampu menginspirasi pembacanya, terutama anak muda yang sedang mengulik hal-hal untuk mengembalikan semangat meraih cita-cita, semangat mencari ilmu, serta menanamkan ajaran untuk patuh terhadap orang tua.

Novel ini juga memberikan kita wawasan tentang bagaimana cara pandang kita terhadap pondok pesantren yang juga mengedepankan ilmu pengetahuan umum tidak hanya fokus kepada ilmu-ilmu agama saja.  

Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari novel ini yaitu bersungguh-sungguh dalam berusaha, pantang menyerah, dan jangan pernah meremehkan impian walau setinggi apapun, yakinlah bahwa kita dapat mencapainya dengan terus berdoa karena Allah Maha Mendengar permintaan hambanya.

Gaya penulisan novel ini lugas, mengalir, dan jernih dengan penyajian cerita yang hidup sehingga pembaca dapat membayangkan suasana kehidupan pondok, pergulatan batin tokoh, serta perjalanan hidup mereka. Novel ini juga dilengkapi penjelasan dari beberapa kata yang kita tidak ketahui seperti bahasa daerah yang banyak digunakan dalam cerita.

Kekurangan dari novel ini adalah penulis tidak menjelaskan lebih jauh mengenai proses kesuksesan dari masing-masih tokoh. Sehingga pembaca merasa melompat begitu saja seperti ada bagian yang terlewat. Hal ini membuat pembaca kurang merasakan apa saja tantangan yang dilalui setiap tokoh dalam cerita.

Begitu banyak pembelajaran dalam novel ini, sehingga cocok dimasukkan ke dalam list bacaan sebagai motivasi yang mampu menggugah semangat mencari ilmu dan meraih impian tentunya dengan pesan-pesan religius yang dapat meningkatkan keimanan dan keyakinan bahwa Allah Maha Mendengar semua doa hambanya. (ykib/zia).

Identitas buku:

Judul buku: Negeri 5 Menara

Penulis buku: Ahmad Fuadi

Tahun terbit: 2009

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 423 halaman

ISBN: 978-979-22-4861-6

*Penulis resensi buku adalah guru Kampung Ilmu Cepu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *