Max Havelaar

*Oleh: Puguh Prianggoro, S.Pd.

Buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda merupakan sebuah buku karya Eduard Douwes Dekker, seorang pejabat pemerintah Hindia-Belanda yang menduduki jabatan mantan Asisten Lebak, Banten, pada abad ke-19. Dalam menulis buku ini Eduard Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli sebagai namanya. Buku Max Havelaar mengisahkan tentang cerita history fiksi dengan menggunakan pengalamannya saat menjabat menjadi asisten Lebak Banten. Multatuli merasa terusik nuraninya melihat penerapan sistem tanam paksa oleh pemerintah Belanda yang menindas orang-orang Pribumi. Bukan hanya menceritakan tentang kejamnya tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda, Multatuli juga menceritakan tentang kekejaman yang dilakukan oleh pejabat Pribumi yang korup sibuk memperkaya diri yang mengakibatkan banyak warga Pribumi kelaparan, miskin, dan menderita.

Novel ini bercerita berawal dari seorang makelar kopi bernama Batavus Droogstoppel atau biasa disebut tuan Droogstoppel yang memiliki firma makelar kopi bernama Last & Co, Lauriergracht No. 37 yang ada di Belanda. Dalam ceritanya dikisahkan Droogstoppel ingin membuat sebuah buku yang nantinya bisa laris di Belanda, karena melihat perekonomian di Belanda yang sedang menurun dan banyak pengusaha yang gulung tikar. Cerita kembali bergulir saat Tuan Droogstoppel bertemu dengan seorang pemuda bernama Sjaalman yang saat itu ingin meminta bantuan dari Tuan Droogstoppel untuk bisa membantu menerbitkan buku hasil karyanya karena saat itu dia sedang mengalami kesulitan dalam ekonomi. Pada awal pertemuan Tuan Droogstoppel menolak permintaan dari Sjaalman tetapi saat Tuan Droogstoppel membaca manuskrip karya Sjaalman yang menceritakan tentang perdagangan kopi Hindia Belanda akhirnya Droogstoppel menerima tawaran dari Sjaalman. Selain tulisan dari Sjaalman dan Tuan Droogstoppel dalam buku yang dibuat ini juga terdapat tulisan dari Ernest Stern, anak dari Ludwig Stern seorang pedagang kopi terkemuka dari Hamburg. Yang membuat buku ini memiliki beberapa cerita yang berbeda tentang Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda dan sebuah kisah tentang Asisten Residen Lebak yang berusaha memerangi kesewenang-wenangan pemerintah Belanda dan pejabat Pribumi.

Saat pertama kali datang ke Lebak Max Havelaar sudah disuguhi banyak masalah yang ada di daerah tersebut. Mulai dari kemiskinan, kelaparan, dan perpindahan penduduk secara besar-besaran. Masalah-masalah tersebut disebabkan oleh kesewenang-wenangan Bupati Lebak dan keluarganya. Pada masa itu yang diangkat sebagai Bupati merupakan seseorang yang dianggap sebagai bangsawan yang seperti raja di daerah tersebut yang bisa memberikan perintah yang mau tidak mau harus dilakukan oleh rakyatnya pada masa itu. Dengan memanfaatkan kekuasaannya, Bupati Lebak melakukan pemerasan terhadap rakyatnya dengan meminta rakyatnya menggarap sawah miliknya tanpa diberikan upah yang mengakibatkan sawah rakyat sendiri tidak dapat digarap, selain itu saat Bupati Lebak menghendaki dan menyukai hewan lembu atau kuda milik rakyatnya, rakyatnya harus mau memberikannya karena jika menolak itu akan menjadi sebuah penghinaan terhadap Bupati atau bangsawan.

Max Havelaar yang merasa prihatin tentang keadaan Lebak mencoba membantu, mulai dari membantu Bupati Lebak dalam keuangan supaya tidak lagi memeras rakyatnya namun usaha tersebut gagal dan masih terjadi pemerasan dan tindakan kesewenang-wenangan pada rakyat. Max Havelaar menyadari hubungan yang aneh di sini hubungan dari Penjajah dan Pribumi. Hubungan ini diibaratkan seperti Penjajah sebagai kakak dan pejabat pribumi sebagai adik. Di mana adik harus menghormati seorang kakak. Dari sini Max mengetahui rusaknya kebijakan dari pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang menerapkan tanam paksa pada rakyat Pribumi dan didukung oleh pejabat Pribumi. Max yang merasa perlakuan itu tidak adil mencoba melaporkan pelanggaran-pelanggaran tersebut pada Kepala Residen Banten sebagai atasannya, namun itu tidak berhasil. Bahkan Max mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memegang kekuasaan tertinggi untuk membahas masalah ini namun permintaan dalam suratnya ditolak seginggal Max tidak dapat bertemu dan membicarakan masalah tersebut.

Max Havelaar menghadapi banyak kesulitan untuk membantu rakyat Pribumi yang sangat menderita pada masa itu yang dapat digambarkan dari kisah percintaan Saidjah dan Adinda yang berakhir tragis karena kesewenang-wenangan Bupati Lebak dan pemerintahan Hindia Belanda pada masa itu yang ternyata kisah tragis itu juga dialami oleh Max sendiri.

Setelah membaca buku Max Havelaar ini kita akan merasakan emosi yang bercampur-campur karena penggambaran keadaan pada masa itu yang serba sulit, di mana penindasan terjadi karena adanya kekuasaan yang sewenang-wenang dan penindasan terjadi secara strukural mulai dari pihak Penjajah hingga pejabat Pribumi. Dalam buku ini memiliki cerita yang sangat kompleks mulai dari cerita tentang Tuan Droogstoppel, kisah Max Havelaar dan juga cerita cinta Saidjah dan Adinda.

Kelebihan pada buku Max Havelaar ini adalah ceritanya yang kompleks dan lengkap namun kita harus teliti dan fokus untuk memahami isi ceritanya yang digambarkan dari beberapa sudut pandang penulis.

Buku ini berisi tentang kritik kepada pemerintah Belanda serta memberikan gambaran tentang penderitaan rakyat bukan hanya disebabkan oleh Penjajah namun juga disebabkan oleh pejabat Pribumi yang korup dan tega memeras rakyatnya sendiri hingga menderita. Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Eduard Douwes Dekker pada masa itu namun menggunakan tokoh fiksi.

Kekurangan buku Max Havelaar ada pada sudut pandang cerita yang terdiri dari beberapa sudut pandang yang kadang dapat mengecoh pembaca sehingga membuat bingung. Buku Max Havelaar adalah buku yang bagus dan menurut saya ini adalah salah satu buku yang harus dibaca untuk yang suka kisah fiksi sejarah. (ykib/guh)

Judul Buku           : Max Havelaar

Penulis                  : Eduard Douwes Dekker (Multatuli)

Penerbit                : Penerbit Qanita PT. Mizan Pustaka

Tahun terbit          : 2014

Jumlah Halaman : 477 Halaman

*Penulis resensi buku adalah guru Kampung Ilmu Kalitidu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *